Sebut Saja Heru

Namanya Heru, Heru saja, tanpa embel-embel apapun. Anda bisa memanggilnya dengan sebutan apapun yang Anda suka, tapi orang-orang biasa memanggilnya Heru. Bukannya ingin mencoba melucu dengan permainan kata-kata, tetapi saya memang hanya menuliskan apa yang sebenarnya terjadi. Orangtuanya memberinya nama Heru dan hanya Heru. Jika Anda bertanya mengapa, saya mohon jangan ditujukan kepada saya, tujukan kepada orangtua Heru karena mereka mungkin saja lebih tahu daripada saya.

Saya percaya Anda pasti familiar dengan nama Heru, karena memang saya ingin mempercayainya, dan bukan karena saya tahu kalau pada tahun 1960an memang nama Heru sedang gencar-gencarnya dipakai. Nama Heru memang ramai di pasaran, tetapi Heru yang satu ini tidak begitu digandrungi di pasar, sebab ia lebih memilih berjualan di tikungan alun-alun kota. Iya, alun-alun yang biasa kita lewati, di pinggir jalan yang sekarang sudah ada Wi-Fi gratisnya itu. Ia berjualan Timlo dan nasi goreng saja, tidak lebih. Mengapa? Karena Heru bilang kalau ditambah dengan bakmi akan tambah repot, iya, karena harus direbus dulu katanya. Dan apakah Anda tahu? Ia berjualan seorang diri, kasihan. Tetapi meskipun ia sudah terbiasa sendiri, ia tidak akan menolak jika Anda temani, apalagi dengan semangkuk Timlo dan teh hangat buatannya, tak lebih dari Rp 15.000,00 (karena belum lebaran, katanya).

Senyumnya yang khas dengan gigi agak kecoklatan akibat terlalu sering diadu dengan nikotin dan nikmatnya teh hangat di pagi, siang, sore serta malam hari semakin menambah semangat saya untuk memutuskan tidur lagi. Saya hanya ingin memberi tahu kalau Heru yang satu ini adalah ayah saya. Sungguh, jika Anda menemukan seseorang yang bernama Heru bercirikan kulit sawo (terlalu) matang dengan warna gigi seirama dan selalu berkomentar tentang apapun yang ditampilkan di TV kecuali serial drama Korea favoritnya, the King and I, ia adalah ayah saya. Beliau tidak pandai menulis, dalam artian yang sesungguhnya, sebab memang hanya Heru yang satu ini saja yang bisa membacanya. Terlepas dari itu semua, ia sangat gemar membaca dan menyanyi, membaca buku apapun dan menyanyikan lagu itu-itu saja dengan lirik bagian refrainnya saja untuk dinyanyikan kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Tetapi satu hal yang pasti, tanpa mengenal lelah ia berjualan Timlo dan nasi goreng sampai pagi, sampai hanya tinggal ia seorang diri, dan sampai mati kita menunggu niatnya untuk berjualan.

Jika Anda bertanya-tanya mengapa Heru dan bukan Wijayanto, jawabannya adalah tidak apa-apa, karena Heru juga adalah ayah saya. Ayah saya ada satu, hanya saja ia memiliki tiga nama, yaitu Heru (rahasia) Wijayanto. Namanya saja rahasia, ya rahasia. Saya tidak akan memberi tahu kepada Anda kalu nama tengahnya adalah Marheni, sebab nantinya Anda juga akan tahu. Saya mohon tolong bersabarlah sedikit, karena ini adalah ujian. Jangan bersedih dan jangan kecewa, sebab saya bilang jangan. Jika saya bilang iya, maka bergembiralah, karena Marheni yang namanya masih dirahasiakan itu sedang menunggu dua jam berikutnya untuk makan tengah malam, jadi sahabat-sahabat saya yang (semoga memang benar-benar) baik hatinya, bersabarlah sebab saya juga tidak akan peduli jika Anda tidak bersabar.

Sebagai penutup dari salah satu cerita di atas normal ini, saya ingin menuliskan sesuatu. Mengapa? Karena saya memang sedang ingin menulis dan bukannya tidur seharian seperti biasanya. Tulisan ini mungkin tidak terlalu penting bagi Anda, pun juga bagi saya sekarang ini, akan tetapi saya tetap ingin Anda semua membacanya. Pesan dari penulis (agar terkesan keren): saya berharap Anda sudi berkunjung ke blog tidak jelas ini, hanya berkunjung saja, tidak usah repot-repot membaca apalagi membubuhkan komentar, karena saya tahu kuota dan waktu Anda lebih berharga dari apapun. Meskipun demikian, kehadiran Anda sangat berharga bagi saya, karena status kehadiran pengunjung di blog saya sudah lama tidak berdenyut, kasihan. Oleh karena itu, saya mohon kabulkanlah permintaan terakhir saya sebelum saya melanjutkan sesi tidur saya yang selanjutnya, sekian.